“Politisasi, Ceremony atau Existensi?”
PGI,KWI dan PGLII tidak mendukung agenda Peryaan Paskah Nasional 2009
Paskah 2009 yang akan diadakan pada hari sabtu, 18 April 2009 di Convention Hall, Sentul Bogor, Jawa Barat, bakal tidak dihadiri Pimpinan tertinggi Organisasi Kristen dan Katolik di Indonesia. Hal ini tertuang dalam surat yang dilayangkan oleh PGI, KWI, dan PGLII ke pada menteri Agama, terkait dengan penolakan Paskah Nasional 2009 yang dianggap tidak tepat karena berdekatan dengan kalender politik nasional, yang memungkinkan tereduksinya makna Paskah dengan kepentingan politik tertentu. Disamping itu, pemaknaan ataupun bentuk seremonial yang bersifat Nasional, selayaknya diadakan oleh pihak Gereja, bukan oleh Negara ataupun pribadi-pribadi tanpa berkonsultasi dengan institusi gerejawi tingkat nasional. Dengan adanya Paskah Nasional melalui SK Mentri Agama DJIV/HK.005/14/2009 dan DJ.II/HK.005/81/2009 (Tentang Pembentukan Panitia Perayaan Paskah Bersama Umat Kristiani Tingkat Nasional). Serta tanpa melibatkan para Tokoh gereja dan Lembaga Tertinggi Gereja di Indonesia, dianggap telah “mempolitisasi” Lembaga Gereja lewat kegiatan keagamaan.
Tidak ada Politisasi dan Kampanye Terselubung
Dilain pihak, Ketua Panitia sekaligus Penggagas Paskah Nasional 2009, dan juga Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), TB Silalahi menegaskan , tidak ada unsur politik ataupun kampanye terselubung dalam perayaan kebangkitan Yesus Kristus. “Jangan kita nodai acara sakral ini dengan pikiran-pikiran yang tidak sepantasnya. Tidak ada kepentingan Pemilu atau Politik dalam perayaan suci ini”. Katanya. TB juga berharap, melalui perayaan Paskah ini (yang akan dihadiri para Uskup, Ketua-ketua Sinode dari Seluruh
Dibalik perseteruan antara Politisasi, Ceremony, atau Existensi
(apa yang hadir?)
Dalam Pergumulan kebangsaan, dan krisis multidimensi di Indonesia saat ini, sangat mengharukan memang jika kita (Warga gereja), tergiring dalam sebuah polemik antara ke-Sakral-an, Ceremony dan Eksistensi. Yang dimana dalam perayaan tersebut menjadi “pertarungan” antara Kesakralan keKristenan, Kekuatan Instansi Lembaga Tertinggi Gereja di Indonesia dan warga Gereja, yang terjebak dalam suatu kekuatan arus politik Indonesia, menjadi identitas, yang berdampak secara luas untuk saat ini dan kemudian. (seandainya itu adalah tontonan politik, apa komentar `dewan sinema politik Indonesia`? Dikasih nilai apa Ya???)
Tidak kah pernah terlintas di pikiran para Birokrat, Politisi (Kristen), serta tokoh agama (Kristen dan Katolik) di
(Markus 12:17) Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!" ……)
-UT OMNEST UNUM
Shalom